Suatu sore, ketika aku berjalan-jalan di sekitar Pasar Ramayana, ada seorang wanita mendahuluiku berjalan tergesa-gesa. Isengku timbul, sambil kususul kupanggil dia dari belakang.
“Mel, Imel!” Dia menoleh ke belakang tersenyum dan memperhatikanku.
“Siapa ya?” tanyanya.
“Maaf, kukira temanku,” sahutku,
“Kebetulan dia bernama Imel”. “Mau ke mana sih?” tanyaku sambil kuulurkan tangan mengajak berkenalan.
“Saya Deny”. “Imel” jawabnya sambil menyambut tanganku.
“Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagi pula filmya Tidak terlalu bagus”, sambungnya lagi..
Suatu sore, ketika aku berjalan-jalan di sekitar Pasar Ramayana, ada seorang wanita mendahuluiku berjalan tergesa-gesa. Isengku timbul, sambil kususul kupanggil dia dari belakang.
“Mel, Imel!” Dia menoleh ke belakang tersenyum dan memperhatikanku.
“Siapa ya?” tanyanya.
“Maaf, kukira temanku,” sahutku,
“Kebetulan dia bernama Imel”. “Mau ke mana sih?” tanyaku sambil kuulurkan tangan mengajak berkenalan.
“Saya Deny”. “Imel” jawabnya sambil menyambut tanganku.
“Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagi pula filmya Tidak terlalu bagus”, sambungnya lagi..
“Sekarang mau kemana lagi?” pancingku. “gak ada, mau Jalan-jalan saja sepulang kerja” jawabnya. “Jalan yuk ke Sukasari” “Mau ngapain?” “Jalan aja, kalau ada Film bagus kita nonton di sana saja”. “Ayolah, kebetulan aku juga nggak ada acara, daripada bengong di rumah”.
Sambil ngobrol akhirnya kuketahui bahwa Imel bekerja di sebuah showroom mobil di Jakarta. Ia janda, cerai beranak satu. Sudah dua tahun ia janda. Umurnya lima tahun di atasku. Tinggal di daerah Warung Jambu, kost dengan beberapa temannya.
Perawakannya sedang, tinggi 160 cm dengan badan yang agak kurus dan lumayan besar. Wajahnya lumayan, kalau dinilai dapat angka tujuh.
Sampai di Sukasari Theatre ternyata Film sudah diputar setengah jam.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Terserah kamu saja”. Kuajak dia jalan mutar-mutar di Matahari lihat-lihat baju dan kosmetik.
Akhirnya dia mengajak minum jamu di kedai dekat jalan. Tiba-tiba saja dia menggandeng lenganku berjalan ke kedai jamu tersebut.
“Mau minum sari rapet?” godaku.
“Gak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja”. Akhirnya dia pesan jamu sehat wanita dan aku minum sehat lelaki.
Setelah minum jamu duduk-duduk sebentar di sana dan kami kembali ke Sukasari Theatre. Tak berapa lama loket buka.
“Jadi nonton?” tanyaku, “Tentu jadi, buat apa tunggu lama-lama di sini?”. Aku ke loket beli tiket.
Dan kembali duduk di sampingnya di foyer. Suasana kelihatan sepi, hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di foyer. Sukasari Theatre memang bukan bioskop favorit di Bogor. Kalah sama Sartika 21 yang baru dibuka.
Akhirnya kami masuk ke dalam bioskop, kemudian film mulai diputar. Beberapa lama kemudian tangannya menyusup ke lenganku. Aku diam saja. Imel semakin merapat. Aku berpaling dan menatap wajahnya. Ia tersenyum dan membuka mulutnya sedikit. Tampak giginya yang berderet rapi. Ia menyorongkan mukanya ke arahku dan mencium pipiku. Aku sedikit kaget atas tindakannya. Aku melepaskan tangannya dari lengan kiriku, lalu kulingkarkan ke bahu kirinya.
Muka kami berdekatan. Kutatap lagi wajahnya dan perlahan-lahan muka kami saling mendekat. Matanya agak terpejam dan mulutnya terbuka. Kukecup bibirnya pelan dan lama-lama menjadi ciuman yang dalam. Kuremas dada sebelah kirinya dari luar baju dengan tangan kiriku. Ia menolak dan menepiskan tanganku, tetapi dibiarkan tanganku memeluk bahunya.
Akhirnya kami tidak konsentrasi lagi ke cerita film yang sedang diputar. Sepanjang pemutaran film itu kami saling merapat dan berciuman. Kadang-kadang lidah kami saling mendesak ke dalam rongga mulut, bergantian kadang lidahnya menggelitik rongga mulutku, kadang lidahku yang masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah menahan dorongan nafsunya yang tertahan sekian lama. Film habis, kami keluar dan berjalan mencari angkutan.
“Kalau sudah malam begini dari sini susah cari angkutan ke rumahku ” katanya.
“Jadi bagaimana?”
“Kita coba saja ke Ramayana, nanti disambung lagi”. Akhirnya kami dapat angkutan, tetapi hanya sampai Pajajaran saja.
Suatu sore, ketika aku berjalan-jalan di sekitar Pasar Ramayana, ada seorang wanita mendahuluiku berjalan tergesa-gesa. Isengku timbul, sambil kususul kupanggil dia dari belakang.
“Mel, Imel!” Dia menoleh ke belakang tersenyum dan memperhatikanku.
“Siapa ya?” tanyanya.
“Maaf, kukira temanku,” sahutku,
“Kebetulan dia bernama Imel”. “Mau ke mana sih?” tanyaku sambil kuulurkan tangan mengajak berkenalan.
“Saya Deny”. “Imel” jawabnya sambil menyambut tanganku.
“Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagi pula filmya Tidak terlalu bagus”, sambungnya lagi..
“Sekarang mau kemana lagi?” pancingku. “gak ada, mau Jalan-jalan saja sepulang kerja” jawabnya. “Jalan yuk ke Sukasari” “Mau ngapain?” “Jalan aja, kalau ada Film bagus kita nonton di sana saja”. “Ayolah, kebetulan aku juga nggak ada acara, daripada bengong di rumah”.
Sambil ngobrol akhirnya kuketahui bahwa Imel bekerja di sebuah showroom mobil di Jakarta. Ia janda, cerai beranak satu. Sudah dua tahun ia janda. Umurnya lima tahun di atasku. Tinggal di daerah Warung Jambu, kost dengan beberapa temannya.
Perawakannya sedang, tinggi 160 cm dengan badan yang agak kurus dan lumayan besar. Wajahnya lumayan, kalau dinilai dapat angka tujuh.
Sampai di Sukasari Theatre ternyata Film sudah diputar setengah jam.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Terserah kamu saja”. Kuajak dia jalan mutar-mutar di Matahari lihat-lihat baju dan kosmetik.
Akhirnya dia mengajak minum jamu di kedai dekat jalan. Tiba-tiba saja dia menggandeng lenganku berjalan ke kedai jamu tersebut.
“Mau minum sari rapet?” godaku.
“Gak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja”. Akhirnya dia pesan jamu sehat wanita dan aku minum sehat lelaki.
Setelah minum jamu duduk-duduk sebentar di sana dan kami kembali ke Sukasari Theatre. Tak berapa lama loket buka.
“Jadi nonton?” tanyaku, “Tentu jadi, buat apa tunggu lama-lama di sini?”. Aku ke loket beli tiket.
Dan kembali duduk di sampingnya di foyer. Suasana kelihatan sepi, hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di foyer. Sukasari Theatre memang bukan bioskop favorit di Bogor. Kalah sama Sartika 21 yang baru dibuka.
Akhirnya kami masuk ke dalam bioskop, kemudian film mulai diputar. Beberapa lama kemudian tangannya menyusup ke lenganku. Aku diam saja. Imel semakin merapat. Aku berpaling dan menatap wajahnya. Ia tersenyum dan membuka mulutnya sedikit. Tampak giginya yang berderet rapi. Ia menyorongkan mukanya ke arahku dan mencium pipiku. Aku sedikit kaget atas tindakannya. Aku melepaskan tangannya dari lengan kiriku, lalu kulingkarkan ke bahu kirinya.
Muka kami berdekatan. Kutatap lagi wajahnya dan perlahan-lahan muka kami saling mendekat. Matanya agak terpejam dan mulutnya terbuka. Kukecup bibirnya pelan dan lama-lama menjadi ciuman yang dalam. Kuremas dada sebelah kirinya dari luar baju dengan tangan kiriku. Ia menolak dan menepiskan tanganku, tetapi dibiarkan tanganku memeluk bahunya.
Akhirnya kami tidak konsentrasi lagi ke cerita film yang sedang diputar. Sepanjang pemutaran film itu kami saling merapat dan berciuman. Kadang-kadang lidah kami saling mendesak ke dalam rongga mulut, bergantian kadang lidahnya menggelitik rongga mulutku, kadang lidahku yang masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah menahan dorongan nafsunya yang tertahan sekian lama. Film habis, kami keluar dan berjalan mencari angkutan.
“Kalau sudah malam begini dari sini susah cari angkutan ke rumahku ” katanya.
“Jadi bagaimana?”
“Kita coba saja ke Ramayana, nanti disambung lagi”. Akhirnya kami dapat angkutan, tetapi hanya sampai Pajajaran saja.
Kami turun di depan pintu Kebun Raya yang di Pajajaran. Kami menungu lagi di situ.
“Jam segini nggak ada lagi angkutan ke Warung Jambu kali ya?” tanyaku.
“Kelihatannya sih nggak ada lagi. Kita cari penginapan saja yuk, saya pernah nginap rame-rame dengan teman-teman di satu penginapan. Agak murah, tapi saya lupa tempatnya”.
Sekilas terpikir olehku Wisma T dekat Pasar Kebon Kembang. “Benar nih mau nginap? Saya tahu ada penginapan yang bersih dan murah”. Setelah lima belas menit menunggu ada mobil Angkutan plat hitam berhenti di depan kami.
“Kemana Pak? Mari saya antar” tanya sopir sambil membuka kaca jendelanya. Kami naik dan minta diantar ke Wisma T.
Sampai di sana ternyata hanya ada kamar standar dengan 2 kasur. Setelah menyelesaikan pembayaran, kami berdua masuk ke kamar. Di dalam kamar kami rapatkan kedua kasur yang ada. Karena agak gerah kubuka kausku. Imel hanya memandang dan tersenyum saja. Kami berbaring berdampingan di kasur masing-masing.
“Boss-nya yang punya showroom orang mana sih?”
“Keturunan Arab” Jawabnya.
“Asyik dong pasti gede punya barangnya. Kamu sering diajak sama boss dong “.
“gak pernah kok”. Entah dia berbohong atau benar.
“Terus kalau tiba-tiba kepengen gimana?” Imel hanya diam saja. Imel bangun dan kulihat dia membuka celana panjangnya. “Eh ngapain dibuka?” kataku terkejut.
Imel hanya tersenyum saja. Ternyata dia mengenakan celana pendek santai sebatas lutut di dalamnya. Kembali Imel berbaring di kasurnya. Karena kedua kasur sengaja kami susun rapat, tanganku bisa menjangkau tubuhnya dan kurengkuh mendekat tubuhku.
Kembali kami berciuman. Mula-mula hanya kukecup bibirnya saja dengan lembut. Imel membalas lembut dan lama kelamaan mulai menjadi liar. Tangannya memainkan bulu dadaku.
Beberapa menit kami saling berciuman dengan dengus napas yang berat. Kutindih dia sambil berciuman. Meriamku di bawah mulai bangkit. Imel merapatkan selangkangannya pada selangkanganku. Mulutku turun ke atas dadanya dan kucoba membuka kancing shirt nya dengan bibirku dan gigiku.
“Sebentar, aku buka dulu bajuku ya,” Katanya sambil membuka kancing bajunya satu persatu.
“Jangan, gak usah dibuka” kataku sambil menahan tangannya.
“gak apa-apa kok. Kamu mau kan”. Katanya mendesah.
Imel membuka baju dan celana pendeknya. Kemudian tangannya membuka ikat pinggangku dan akhirnya menarik resleting dan kemudian dengan perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami hanya mengenakan pakaian dalam saja.
“Kamu sering ajak perempuan untuk begini ya?” tanyanya.
“Ah gak, aku belum pernah kok berhubungan dengan wanita” kataku berbohong. Aku memang sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita.
“Gak percaya ah, kelihatannya kamu lihai sekali dalam bercumbu tadi”.
“Kalau sebatas ciuman emang sih, tapi untuk lebih jauh lagi belum pernah. Paling hanya nonton Film dan baca cerita saja”
“Jadi kamu masih perjaka?” ia meyakinkan lagi.
“Emangnya kenapa?”
“Eehhngng..” Ia mendesah ketika lehernya kujilati.
Suatu sore, ketika aku berjalan-jalan di sekitar Pasar Ramayana, ada seorang wanita mendahuluiku berjalan tergesa-gesa. Isengku timbul, sambil kususul kupanggil dia dari belakang.
“Mel, Imel!” Dia menoleh ke belakang tersenyum dan memperhatikanku.
“Siapa ya?” tanyanya.
“Maaf, kukira temanku,” sahutku,
“Kebetulan dia bernama Imel”. “Mau ke mana sih?” tanyaku sambil kuulurkan tangan mengajak berkenalan.
“Saya Deny”. “Imel” jawabnya sambil menyambut tanganku.
“Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagi pula filmya Tidak terlalu bagus”, sambungnya lagi..
“Sekarang mau kemana lagi?” pancingku. “gak ada, mau Jalan-jalan saja sepulang kerja” jawabnya. “Jalan yuk ke Sukasari” “Mau ngapain?” “Jalan aja, kalau ada Film bagus kita nonton di sana saja”. “Ayolah, kebetulan aku juga nggak ada acara, daripada bengong di rumah”.
Sambil ngobrol akhirnya kuketahui bahwa Imel bekerja di sebuah showroom mobil di Jakarta. Ia janda, cerai beranak satu. Sudah dua tahun ia janda. Umurnya lima tahun di atasku. Tinggal di daerah Warung Jambu, kost dengan beberapa temannya.
Perawakannya sedang, tinggi 160 cm dengan badan yang agak kurus dan lumayan besar. Wajahnya lumayan, kalau dinilai dapat angka tujuh.
Sampai di Sukasari Theatre ternyata Film sudah diputar setengah jam.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Terserah kamu saja”. Kuajak dia jalan mutar-mutar di Matahari lihat-lihat baju dan kosmetik.
Akhirnya dia mengajak minum jamu di kedai dekat jalan. Tiba-tiba saja dia menggandeng lenganku berjalan ke kedai jamu tersebut.
“Mau minum sari rapet?” godaku.
“Gak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja”. Akhirnya dia pesan jamu sehat wanita dan aku minum sehat lelaki.
Setelah minum jamu duduk-duduk sebentar di sana dan kami kembali ke Sukasari Theatre. Tak berapa lama loket buka.
“Jadi nonton?” tanyaku, “Tentu jadi, buat apa tunggu lama-lama di sini?”. Aku ke loket beli tiket.
Dan kembali duduk di sampingnya di foyer. Suasana kelihatan sepi, hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di foyer. Sukasari Theatre memang bukan bioskop favorit di Bogor. Kalah sama Sartika 21 yang baru dibuka.
Akhirnya kami masuk ke dalam bioskop, kemudian film mulai diputar. Beberapa lama kemudian tangannya menyusup ke lenganku. Aku diam saja. Imel semakin merapat. Aku berpaling dan menatap wajahnya. Ia tersenyum dan membuka mulutnya sedikit. Tampak giginya yang berderet rapi. Ia menyorongkan mukanya ke arahku dan mencium pipiku. Aku sedikit kaget atas tindakannya. Aku melepaskan tangannya dari lengan kiriku, lalu kulingkarkan ke bahu kirinya.
Muka kami berdekatan. Kutatap lagi wajahnya dan perlahan-lahan muka kami saling mendekat. Matanya agak terpejam dan mulutnya terbuka. Kukecup bibirnya pelan dan lama-lama menjadi ciuman yang dalam. Kuremas dada sebelah kirinya dari luar baju dengan tangan kiriku. Ia menolak dan menepiskan tanganku, tetapi dibiarkan tanganku memeluk bahunya.
Akhirnya kami tidak konsentrasi lagi ke cerita film yang sedang diputar. Sepanjang pemutaran film itu kami saling merapat dan berciuman. Kadang-kadang lidah kami saling mendesak ke dalam rongga mulut, bergantian kadang lidahnya menggelitik rongga mulutku, kadang lidahku yang masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah menahan dorongan nafsunya yang tertahan sekian lama. Film habis, kami keluar dan berjalan mencari angkutan.
“Kalau sudah malam begini dari sini susah cari angkutan ke rumahku ” katanya.
“Jadi bagaimana?”
“Kita coba saja ke Ramayana, nanti disambung lagi”. Akhirnya kami dapat angkutan, tetapi hanya sampai Pajajaran saja.
Kami turun di depan pintu Kebun Raya yang di Pajajaran. Kami menungu lagi di situ.
“Jam segini nggak ada lagi angkutan ke Warung Jambu kali ya?” tanyaku.
“Kelihatannya sih nggak ada lagi. Kita cari penginapan saja yuk, saya pernah nginap rame-rame dengan teman-teman di satu penginapan. Agak murah, tapi saya lupa tempatnya”.
Sekilas terpikir olehku Wisma T dekat Pasar Kebon Kembang. “Benar nih mau nginap? Saya tahu ada penginapan yang bersih dan murah”. Setelah lima belas menit menunggu ada mobil Angkutan plat hitam berhenti di depan kami.
“Kemana Pak? Mari saya antar” tanya sopir sambil membuka kaca jendelanya. Kami naik dan minta diantar ke Wisma T.
Sampai di sana ternyata hanya ada kamar standar dengan 2 kasur. Setelah menyelesaikan pembayaran, kami berdua masuk ke kamar. Di dalam kamar kami rapatkan kedua kasur yang ada. Karena agak gerah kubuka kausku. Imel hanya memandang dan tersenyum saja. Kami berbaring berdampingan di kasur masing-masing.
“Boss-nya yang punya showroom orang mana sih?”
“Keturunan Arab” Jawabnya.
“Asyik dong pasti gede punya barangnya. Kamu sering diajak sama boss dong “.
“gak pernah kok”. Entah dia berbohong atau benar.
“Terus kalau tiba-tiba kepengen gimana?” Imel hanya diam saja. Imel bangun dan kulihat dia membuka celana panjangnya. “Eh ngapain dibuka?” kataku terkejut.
> Imel hanya tersenyum saja. Ternyata dia mengenakan celana pendek santai sebatas lutut di dalamnya. Kembali Imel berbaring di kasurnya. Karena kedua kasur sengaja kami susun rapat, tanganku bisa menjangkau tubuhnya dan kurengkuh mendekat tubuhku.
Kembali kami berciuman. Mula-mula hanya kukecup bibirnya saja dengan lembut. Imel membalas lembut dan lama kelamaan mulai menjadi liar. Tangannya memainkan bulu dadaku.
Beberapa menit kami saling berciuman dengan dengus napas yang berat. Kutindih dia sambil berciuman. Meriamku di bawah mulai bangkit. Imel merapatkan selangkangannya pada selangkanganku. Mulutku turun ke atas dadanya dan kucoba membuka kancing shirt nya dengan bibirku dan gigiku.
“Sebentar, aku buka dulu bajuku ya,” Katanya sambil membuka kancing bajunya satu persatu.
“Jangan, gak usah dibuka” kataku sambil menahan tangannya.
“gak apa-apa kok. Kamu mau kan”. Katanya mendesah.
Imel membuka baju dan celana pendeknya. Kemudian tangannya membuka ikat pinggangku dan akhirnya menarik resleting dan kemudian dengan perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami hanya mengenakan pakaian dalam saja.
“Kamu sering ajak perempuan untuk begini ya?” tanyanya.
“Ah gak, aku belum pernah kok berhubungan dengan wanita” kataku berbohong. Aku memang sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita.
“Gak percaya ah, kelihatannya kamu lihai sekali dalam bercumbu tadi”.
“Kalau sebatas ciuman emang sih, tapi untuk lebih jauh lagi belum pernah. Paling hanya nonton Film dan baca cerita saja”
“Jadi kamu masih perjaka?” ia meyakinkan lagi.
“Emangnya kenapa?”
“Eehhngng..” Ia mendesah ketika lehernya kujilati.
Imel menindihku dan tangannya kebelakang punggungnya membuka pengait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di hadapanku. Buah dadanya lumayan besar. Masih kencang dan padat. Imel mendorong lidahnya masuk jauh ke dalam rongga mulutku. Lidahnya liar memainkan lidahku.
Aku hanya diam saja, sesekali membalas mendorong lidahnya. Tanganku memilin puting serta meremas payudaranya. Imel menggeserkan tubuhnya ke bagian atas tubuhku sehingga payudaranya pas di depan mulutku. Segera kuhisap payudaranya dengan mulutku. Putingnya kuisap pelan dan kugigit kecil.
“Aaacchh, teruskan Den.. Teruskan”. Ia mulai mengerang dan meracau, punggungnya melengkung ke belakang.
Meriamku semakin keras. Imel semakin merapatkan selangkangannya pada selangkanganku, sehingga kadang terasa agak sakit jika dia terlalu keras menindihku. Puting dan payudaranya semakin kencang dan keras.
Kukulum payudaranya, sambil putingnya terus kumainkan dengan lidahku. Dadanya terlihat memerah dan menjadi lebih gelap dibanding bagian tubuh lainnya pertanda nafsunya mulai terbakar. Napasnya tersengal-sengal.
Tangan Imel bergerak ke bawah menyelusup di balik celana dalamku, meremas, mengocok dan menggoyang-goyangkan senjataku. Akhirnya dia menarik celana dalamku sampai ke lutut dan dengan bantuan jari kakinya ia melepaskannya ke bawah. Kini aku dalam keadaan telanjang bulat.
Imel menggeserkan mulutnya ke arah bawah, menjilati leher dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan napasnya terasa kuat menerpa tubuhku. Dia mulai menjilati putingku. Aku terangsang hebat sekali sehingga harus menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menahan rangsangan ini.
Kupeluk pinggangnya erat-erat. Tangannya kemudian membuka celana dalamnya sendiri. Kini tangan kiriku leluasa bermain di antara selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak begitu lebat dan pendek-pendek. Dengan jari telunjuk dan jari manis kubuka kemaluannya itu.
Jari tengahku menekan bagian atas organ kewanitaannya dan mengusap bagian yang menonjol seperti kacang tanah. Setiap aku mengusap kelentitnya Imel menggigit kuat dadaku dan mengerang tertahan.
“Aaauhh.. Ngngnggnghhk”
Mulutnya bergerak semakin ke bawah, bermain-main dengan bulu dada dan perutku, terus semakin ke bawah, menjilati bagian dalam lutut dan pahaku. Sendi-sendi kakiku terasa mau lepas. Tangannya masih sempat bermain-main di kejantananku. Kini mulutnya mulai menjilati kantung penisku. Tanganku meremas-remas rambutnya untuk mengimbanginya.
Aku pikir dia mau meng-oral, tetapi ternyata tidak, dia hanya sampai pada kantung penis saja. Aku hanya menunggu dan mengimbangi gerakannya saja, seolah-olah aku belum pernah melakukan hal ini. Kembali Imel bergerak ke atas, tangan kirinya memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri mengeras.
Suatu sore, ketika aku berjalan-jalan di sekitar Pasar Ramayana, ada seorang wanita mendahuluiku berjalan tergesa-gesa. Isengku timbul, sambil kususul kupanggil dia dari belakang.
“Mel, Imel!” Dia menoleh ke belakang tersenyum dan memperhatikanku.
“Siapa ya?” tanyanya.
“Maaf, kukira temanku,” sahutku,
“Kebetulan dia bernama Imel”. “Mau ke mana sih?” tanyaku sambil kuulurkan tangan mengajak berkenalan.
“Saya Deny”. “Imel” jawabnya sambil menyambut tanganku.
“Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagi pula filmya Tidak terlalu bagus”, sambungnya lagi..
“Sekarang mau kemana lagi?” pancingku. “gak ada, mau Jalan-jalan saja sepulang kerja” jawabnya. “Jalan yuk ke Sukasari” “Mau ngapain?” “Jalan aja, kalau ada Film bagus kita nonton di sana saja”. “Ayolah, kebetulan aku juga nggak ada acara, daripada bengong di rumah”.
Sambil ngobrol akhirnya kuketahui bahwa Imel bekerja di sebuah showroom mobil di Jakarta. Ia janda, cerai beranak satu. Sudah dua tahun ia janda. Umurnya lima tahun di atasku. Tinggal di daerah Warung Jambu, kost dengan beberapa temannya.
Perawakannya sedang, tinggi 160 cm dengan badan yang agak kurus dan lumayan besar. Wajahnya lumayan, kalau dinilai dapat angka tujuh.
Sampai di Sukasari Theatre ternyata Film sudah diputar setengah jam.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Terserah kamu saja”. Kuajak dia jalan mutar-mutar di Matahari lihat-lihat baju dan kosmetik.
Akhirnya dia mengajak minum jamu di kedai dekat jalan. Tiba-tiba saja dia menggandeng lenganku berjalan ke kedai jamu tersebut.
“Mau minum sari rapet?” godaku.
“Gak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja”. Akhirnya dia pesan jamu sehat wanita dan aku minum sehat lelaki.
Setelah minum jamu duduk-duduk sebentar di sana dan kami kembali ke Sukasari Theatre. Tak berapa lama loket buka.
“Jadi nonton?” tanyaku, “Tentu jadi, buat apa tunggu lama-lama di sini?”. Aku ke loket beli tiket.
Dan kembali duduk di sampingnya di foyer. Suasana kelihatan sepi, hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di foyer. Sukasari Theatre memang bukan bioskop favorit di Bogor. Kalah sama Sartika 21 yang baru dibuka.
Akhirnya kami masuk ke dalam bioskop, kemudian film mulai diputar. Beberapa lama kemudian tangannya menyusup ke lenganku. Aku diam saja. Imel semakin merapat. Aku berpaling dan menatap wajahnya. Ia tersenyum dan membuka mulutnya sedikit. Tampak giginya yang berderet rapi. Ia menyorongkan mukanya ke arahku dan mencium pipiku. Aku sedikit kaget atas tindakannya. Aku melepaskan tangannya dari lengan kiriku, lalu kulingkarkan ke bahu kirinya.
Muka kami berdekatan. Kutatap lagi wajahnya dan perlahan-lahan muka kami saling mendekat. Matanya agak terpejam dan mulutnya terbuka. Kukecup bibirnya pelan dan lama-lama menjadi ciuman yang dalam. Kuremas dada sebelah kirinya dari luar baju dengan tangan kiriku. Ia menolak dan menepiskan tanganku, tetapi dibiarkan tanganku memeluk bahunya.
Akhirnya kami tidak konsentrasi lagi ke cerita film yang sedang diputar. Sepanjang pemutaran film itu kami saling merapat dan berciuman. Kadang-kadang lidah kami saling mendesak ke dalam rongga mulut, bergantian kadang lidahnya menggelitik rongga mulutku, kadang lidahku yang masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah menahan dorongan nafsunya yang tertahan sekian lama. Film habis, kami keluar dan berjalan mencari angkutan.
“Kalau sudah malam begini dari sini susah cari angkutan ke rumahku ” katanya.
“Jadi bagaimana?”
“Kita coba saja ke Ramayana, nanti disambung lagi”. Akhirnya kami dapat angkutan, tetapi hanya sampai Pajajaran saja.
Kami turun di depan pintu Kebun Raya yang di Pajajaran. Kami menungu lagi di situ.
“Jam segini nggak ada lagi angkutan ke Warung Jambu kali ya?” tanyaku.
“Kelihatannya sih nggak ada lagi. Kita cari penginapan saja yuk, saya pernah nginap rame-rame dengan teman-teman di satu penginapan. Agak murah, tapi saya lupa tempatnya”.
Sekilas terpikir olehku Wisma T dekat Pasar Kebon Kembang. “Benar nih mau nginap? Saya tahu ada penginapan yang bersih dan murah”. Setelah lima belas menit menunggu ada mobil Angkutan plat hitam berhenti di depan kami.
“Kemana Pak? Mari saya antar” tanya sopir sambil membuka kaca jendelanya. Kami naik dan minta diantar ke Wisma T.
Sampai di sana ternyata hanya ada kamar standar dengan 2 kasur. Setelah menyelesaikan pembayaran, kami berdua masuk ke kamar. Di dalam kamar kami rapatkan kedua kasur yang ada. Karena agak gerah kubuka kausku. Imel hanya memandang dan tersenyum saja. Kami berbaring berdampingan di kasur masing-masing.
“Boss-nya yang punya showroom orang mana sih?”
“Keturunan Arab” Jawabnya.
“Asyik dong pasti gede punya barangnya. Kamu sering diajak sama boss dong “.
“gak pernah kok”. Entah dia berbohong atau benar.
“Terus kalau tiba-tiba kepengen gimana?” Imel hanya diam saja. Imel bangun dan kulihat dia membuka celana panjangnya. “Eh ngapain dibuka?” kataku terkejut.
Imel hanya tersenyum saja. Ternyata dia mengenakan celana pendek santai sebatas lutut di dalamnya. Kembali Imel berbaring di kasurnya. Karena kedua kasur sengaja kami susun rapat, tanganku bisa menjangkau tubuhnya dan kurengkuh mendekat tubuhku.
Kembali kami berciuman. Mula-mula hanya kukecup bibirnya saja dengan lembut. Imel membalas lembut dan lama kelamaan mulai menjadi liar. Tangannya memainkan bulu dadaku.
Beberapa menit kami saling berciuman dengan dengus napas yang berat. Kutindih dia sambil berciuman. Meriamku di bawah mulai bangkit. Imel merapatkan selangkangannya pada selangkanganku. Mulutku turun ke atas dadanya dan kucoba membuka kancing shirt nya dengan bibirku dan gigiku.
“Sebentar, aku buka dulu bajuku ya,” Katanya sambil membuka kancing bajunya satu persatu.
“Jangan, gak usah dibuka” kataku sambil menahan tangannya.
“gak apa-apa kok. Kamu mau kan”. Katanya mendesah.Imel membuka baju dan celana pendeknya. Kemudian tangannya membuka ikat pinggangku dan akhirnya menarik resleting dan kemudian dengan perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami hanya mengenakan pakaian dalam saja.
“Kamu sering ajak perempuan untuk begini ya?” tanyanya.
“Ah gak, aku belum pernah kok berhubungan dengan wanita” kataku berbohong. Aku memang sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita.
“Gak percaya ah, kelihatannya kamu lihai sekali dalam bercumbu tadi”.
“Kalau sebatas ciuman emang sih, tapi untuk lebih jauh lagi belum pernah. Paling hanya nonton Film dan baca cerita saja”
“Jadi kamu masih perjaka?” ia meyakinkan lagi.
“Emangnya kenapa?”
“Eehhngng..” Ia mendesah ketika lehernya kujilati.
Imel menindihku dan tangannya kebelakang punggungnya membuka pengait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di hadapanku. Buah dadanya lumayan besar. Masih kencang dan padat. Imel mendorong lidahnya masuk jauh ke dalam rongga mulutku. Lidahnya liar memainkan lidahku.
Aku hanya diam saja, sesekali membalas mendorong lidahnya. Tanganku memilin puting serta meremas payudaranya. Imel menggeserkan tubuhnya ke bagian atas tubuhku sehingga payudaranya pas di depan mulutku. Segera kuhisap payudaranya dengan mulutku. Putingnya kuisap pelan dan kugigit kecil.
“Aaacchh, teruskan Den.. Teruskan”. Ia mulai mengerang dan meracau, punggungnya melengkung ke belakang.
Meriamku semakin keras. Imel semakin merapatkan selangkangannya pada selangkanganku, sehingga kadang terasa agak sakit jika dia terlalu keras menindihku. Puting dan payudaranya semakin kencang dan keras.
Kukulum payudaranya, sambil putingnya terus kumainkan dengan lidahku. Dadanya terlihat memerah dan menjadi lebih gelap dibanding bagian tubuh lainnya pertanda nafsunya mulai terbakar. Napasnya tersengal-sengal.Tangan Imel bergerak ke bawah menyelusup di balik celana dalamku, meremas, mengocok dan menggoyang-goyangkan senjataku. Akhirnya dia menarik celana dalamku sampai ke lutut dan dengan bantuan jari kakinya ia melepaskannya ke bawah. Kini aku dalam keadaan telanjang bulat.
Imel menggeserkan mulutnya ke arah bawah, menjilati leher dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan napasnya terasa kuat menerpa tubuhku. Dia mulai menjilati putingku. Aku terangsang hebat sekali sehingga harus menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menahan rangsangan ini.
Kupeluk pinggangnya erat-erat. Tangannya kemudian membuka celana dalamnya sendiri. Kini tangan kiriku leluasa bermain di antara selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak begitu lebat dan pendek-pendek. Dengan jari telunjuk dan jari manis kubuka kemaluannya itu.
Jari tengahku menekan bagian atas organ kewanitaannya dan mengusap bagian yang menonjol seperti kacang tanah. Setiap aku mengusap kelentitnya Imel menggigit kuat dadaku dan mengerang tertahan.
“Aaauhh.. Ngngnggnghhk”
Mulutnya bergerak semakin ke bawah, bermain-main dengan bulu dada dan perutku, terus semakin ke bawah, menjilati bagian dalam lutut dan pahaku. Sendi-sendi kakiku terasa mau lepas. Tangannya masih sempat bermain-main di kejantananku. Kini mulutnya mulai menjilati kantung penisku. Tanganku meremas-remas rambutnya untuk mengimbanginya.
Aku pikir dia mau meng-oral, tetapi ternyata tidak, dia hanya sampai pada kantung penis saja. Aku hanya menunggu dan mengimbangi gerakannya saja, seolah-olah aku belum pernah melakukan hal ini. Kembali Imel bergerak ke atas, tangan kirinya memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri mengeras.
Ia dalam posisi jongkok di atas selangkanganku. Perlahan lahan ia menurunkan pantatnya sambil memutar-mutarkannya. Agak susah dia kelihatannya berusaha memasukkan kejantananku ke liang vaginanya. Mungkin benar juga setelah lama janda dia tidak pernah merasakan lagi nikmatnya berhubungan badan.
Penisku memang lebih besar di bagian ujung dari pada pangkalnya. Kepala kejantananku dijepit dengan kedua jarinya, digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa hangat dan lembab, lama-lama seperti berair. Dia mencoba lagi untuk memasukkan kejantananku. Kali ini.. Blleessh.. Usahanya berhasil. “Ouhh.. Imel ouhh” kini aku yang setengah berteriak.
Imel mulai bergerak naik turun dalam posisi setengah jongkok. Mula-mula perlahan-lahan dia menggerakkannya, karena memang terasa masih sempit agak kesat dan kering. Aku mengimbanginya dengan memutar pinggulku dan meremas payudaranya.
Kepalanya mendongak ke atas dan bergerak ke kanan kiri. Kedua tangannya bertumpu pada pahaku. Ketika lendirnya sudah membasahi organnya Imel mempercepat gerakannya, kadang-kadang dibuatnya tinggal kepala penisku saja yang menyentuh mulut vaginanya. Imel menghentikan gerakannya, merebahkan tubuhnya di atasku dan kini terasa otot vaginanya meremas penisku.
Terasa nikmat sekali. Aku mengimbanginya, ketika dia relaksasi aku yang mengencangkan otot perutku seolah-olah menahan kencing. Demikian bergantian kami saling meremas dengan otot kemaluan kami. Beberapa saat kami dalam posisi itu tanpa menggerakkan tubuh, hanya otot kemaluan saja yang bekerja sambil saling berciuman dan memagut tubuh kami. “Deny, .. Nikmat sekali .. Ooouuhh” desisnya sambil menciumi leherku.
Imel berguling ke samping, kini dalam posisi menyamping aku yang bergerak maju mundur menyodokkan kejantananku ke dalam vaginanya. Dalam posisi ini gerakanku menjadi kurang nyaman dan kurang bebas. Kugulingkan lagi tubuhnya, kini aku yang berada di atas.
Kuatur gerakanku dengan ritme pelan namun dalam sampai kurasakan kepala penisku menyentuh mulut rahimnya. Kuangkat penisku sampai keluar dari vaginanya dan kumasukkan lagi dengan pelan, demikian berulang-ulang. Ketika penisku menyentuh rahimnya Imel mengangkat pantatnya sehingga tubuh kami merapat.
“Lebih cepat lagi, oohh.. Aku mau keluar aacchhkk..” Imel memeluk punggungku lebih erat. Betisnya membelit pinggangku, matanya setengah terpejam, kepalanya terangkat sehingga seolah-olah tubuhnya menggantung di tubuhku.
Kuubah ritmeku, kugerakkan dengan pelan namun hanya ujung penisku saja yang masuk beberapa kali kemudian sekali kutusukkan dengan cepat sampai seluruh batang terbenam. Matanya semakin sayu dan gerakannya semakin liar. Aku mendadak menghentikan gerakanku. Payudaranya sebelah kuremas dan sebelah lagi kukulum dalam-dalam. Tubuh Imel bergetar seperti menangis.
“Ayo jangan berhenti, teruskan.. Teruskan lagi” pintanya.
Aku tahu wanita ini hampir mencapai puncaknya. Kugerakkan lagi tubuhku. Kali ini dengan ritme yang cepat dan dalam. Semakin lama semakin cepat. Terdengar bunyi seperti kaki diangkat dari dalam lumpur ketika penisku kunaikturunkan dengan cepat.
“Ayolah Deny, aku mau sampai “. Gerakan pantatku semakin cepat dan akhirnya
“Sekarang.. Den.. Sekarang.. Yeeah!!”
Kurasakan tubuhnya menegang, vaginanya berdenyut dengan cepat, napasnya tersengal dan tangannya meremas rambutku. Kukencangkan otot perutku dan kutahan, terasa ada aliran lahar yang mau meledak.
Aku berhenti sejenak dalam posisi kepala penis saja yang masuk dalam vaginanya, kemudian kuhempaskan dalam-dalam. Serr.. Seerr beberapa kali laharku muncrat di dalam vaginanya. Imel hendak berteriak untuk menyalurkan rasa kepuasannya, namun sebelum keluar suaranya kusumbat mulutnya dengan bibirku.
“MMmmhh.. Achh” pantatnya diangkat menyambut hunjamanku dan tubuhnya bergetar, pelukan tangan dan jepitan kakinya semakin erat sampai aku merasa kesulitan bernafas, denyutan di dalam vaginanya terasa kuat sekali meremas kejantananku.
Setelah satu menit denyutannya masih sempit terasa sampai penisku terasa ngilu. Ketika penisku mau kucabut dia menahan tubuhku.
“Jangan dicabut dulu, biarkan saja di dalam. Ouhh kamu hebat sekali Deny. Terima kasih kamu telah memuaskanku” Imel mengecup bibirku.
Kubiarkan dia memelukku sampai penisku mengecil dan akhirnya keluar sendiri dari vaginanya. Malam itu dalam waktu kurang lebih tujuh jam kami bertempur sampai enam ronde. Paginya dia memelukku dan berkata,
“Aku mau lagi di lain hari”.
“Ah kamu nakal, perjakaku kamu ambil”.
“Kamu yang nakal, kamu yang mulai”. Kupeluk dia dan kuangkat ke kamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri..
Akhirnya kuantar dia ngentot sepulang Kerja dan aku berjanji untuk datang lagi ke rumahnya. Ternyata dia tinggal serumah dengan beberapa teman-temannya. Semuanya wanita, sebagian janda dan sebagian lagi masih gadis. Mereka masing-masing punya pekerjaan tetap. ohh nikmatnya tubuh Imel.